Jika ada bencana, hampir otomatis akan ada kegiatan karitas. Ini pertanda masih kuatnya solidaritas sosial. Semakin masif bencana, semakin marak juga aksi karitas, yang biasanya dalam bentuk sumbangan uang, barang, dan kerja sukarela. Banjir yang melanda Jakarta saat ini (2/07) memunculkan kegiatan karitas yang dilakukan oleh partai politik dan atau aktivis partai politik yang menonjolkan simbol-simbol kepartaian. Karitas politis ini memang kegiatan kedermawanan sosial (filantropi), namun tidak bisa dipisahkan dengan adanya motif politik dibalik kegiatan tersebut disamping motif kemanusiaan. Dan akhirnya kegiatas filantropi seperti ini biasanya hanya berhenti pada karitas yang berefek pada popularitas ketimbang menghilangkan akar permasalahan.
Bantuan banjir partai politik
Banjir di Jakarta saat ini mengakibatkan sekitar 150 ribu penduduk menjadi pengungsi, 54 jiwa melayang, dan kerugian diperkirakan mencapai Rp. 4,1 trilyun. Bantuan untuk korban banjir datang dari berbagai unsur: organisasi filantropi, pemerintah, dan masyarakat.
Organisasi filantropi, seperti PMI, Aksi Cepat Tanggap Dompet Dhuafa, dan Sampoerna foundation memang sehari-hari konsern dalam masalah kedermawanan sosial (filantropi) termasuk menolong korban bencana. Bantuan pemerintah sebenarnya tidak bisa dibilang sumbangan atau kegiatan filantropi karena memang sudah menjadi tugas pemerintah memberikan pelayanan. Namun ada juga individu dan kelompok dari instansi pemerintah yang memberikan bantuan pribadi. Yang paling besar dan masif adalah bantuan dari masyarakat yang banyak dilakukan secara spontan. Tanpa adanya perintah atau himbauan, bantuan sudah berdatangan, relawan bermunculan. Bahkan ibu-ibu dengan cepat mengelompok untuk memasak makanan siap saji. Karena itu pantas kalau pemerintah dalam hal ini presiden SBY ketika meninjau korban banjir mengucapkan terima kasih kepada masyarakat.
Para aktivis partai politik tidak ketinggalan berpastisipasi memberikan sumbangan, mendirikan dan mengelola posko banjir, serta menjadi relawan. Diantaranya adalah Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Demokrasi Indonesian Perjuangan (PDI-P), Partai Golkar, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura), Partai Demokrat, dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Beberapa partai cukup serius dalam penanganan bencana ini. PKS dan PDIP menghimbau para aktivisnya untuk membuat posko dan menyalurkan bantuan. Di wilayah Jakarta PKS mendirikan 60 posko korban banjir, dan menurunkan sejumlah 1500 kader kepanduan sebagai relawan (Rakyat Merdeka, 7/2/07). Sedangkan PDIP mengklaim memiliki seratusan posko banjir yang didirikan ditingkat kelurahan (TVRI, 6/2/07). Golkar pun tak kalah. Partai ini tidak secara khusus membuat posko bantuan, tapi memberikan bantuan ratusan kardus mie instan di berbagai posko banjir di wilayah Jakarta.
Karitas dan Popularitas
Fenomena karitas politis ini bukan hal baru, tapi semakin terlihat dengan banyaknya bencana di tanah air. Tentu kegiatan karitas adalah kegiatan sosial, yang berangkat dari rasa kemanusiaan. Namun selain motif kemanusiaan, ada hal-hal lain yang mendorong seseorang berderma, seperti penunaian perintah agama, kesenangan batin, dan keinginan untuk dihargai. Begitu pula, selain dampak langsung seperti adanya keselamatan jiwa, dampak yang tidak kasat mata dari pemberian bantuan karitas adalah menguatnya hubungan patron klien termasuk meningkatnya popularitas pemberi.
Adanya motif popularitas akan mudah ditandai ketika bantuan tidak disalurkan kepada lembaga-lembaga filantropi tapi disalurkan sendiri dengan memperlihatkan simbol-simbol pemberi yang jelas, dalam hal ini partai. Seakan ada pesan tak tertulis untuk mengingat peran si pemberi khususnya ketika saat-saat dibutuhkan seperti pemilihan pemilihan kepala daerah dan pemilihan umum. Dalam sebuah wawancara (TVRI, 6/02/07), misalnya, seorang tokoh partai Golkar buru-buru menjelaskan bahwa bantuan mereka ini real kemanusiaan, bukan untuk kampanye partai. Tokoh partai tersebut ingin menepis image bahwa apa yang mereka lakukan adalah kampanye partai atau untuk menarik konstituen. Suatu penjelasan yang berangkat dari asumsi publik terhadap sumbangan atau bantuan dari partai politik.
Memang tidak salah dengan pemberian bantuan yang berbendera partai. Itu juga perbuatan kedermawanan. Masalah niat itu urusan pemberi dengan Tuhan. Tentu saja masyarakat percaya bahwa dalam kegiatan kedermawanan ada unsur kemanusiaan. Siapa yang tidak terketuk hatinya melihat penderitaan korban banjir. Jangankan masyarakat yang mampu, masyarakat yang tidak memiliki kemampuan finansial lebih pun tetap bisa membantu meringankan korban banjir. Tapi masyarakat juga banyak belajar dari amplop-amplop, sumbangan pembangunan masjid, pembangunan jalan, yang bertebaran menjelang pemilu, pilkada, bahkan pemilihan kepala desa, yang bisa mendongkrak suara pemilih.
Sumbangan politis marak karena tidak perlu dana besar, tapi dapat tepat sasaran. Walaupun saat ini marak, sumbangan politis ini tidak perlu dikhawatirkan. Masyarakat pun tidak berfikir bantuan dari siapa, yang penting mereka bisa survive. Urusan pilih memilih partai, adalah urusan belakangan. Namun dari sisi moralitas sebaiknya kepedulian partai atau para aktivis partai disalurkan dengan lebih bermakna dan mendidik. Maksimalkan karitas dengan cara memberikan bantuan jangka panjang (bukan hanya sesaat) dan dikelola secara profesional oleh lembaga filantropi.
Banjir dan perubahan pola pikir penyumbang
Ada persoalan dalam pola berderma masyarakat saat ini yang lebih banyak berupa pemberian langsung dan pemberian konsumtif. Bantuan kemanusiaan akibat banjir lebih banyak mendapat dana karena mengetuk hati dan populer. Sedangkan program untuk mencegah banjir, sepi pendonor karena dianggap tidak kelihatan langsung. Karena itulah sumbangan politis dan drama kegiatan emergensi terjadi setiap tahun. Padahal kerugian sangat besar dan dana emergensi yang keluar juga cukup besar. Agaknya masyarakat dan pemerintah lupa akan pepatah “lebih baik mencegah daripada mengobati.”
Sudah waktunya pola pikir penyumbang dirubah dari sekedar pemberian karitas menjadi pemberian jangka panjang yang mencoba mencegah terjadinya banjir. Misalnya program advokasi lingkungan, pendidikan pelestarian lingkungan, program reboisasi, penegakan hukum bagi perambah hutan, dan advokasi tata kota. Dan tentu saja program lingkungan ini tidak bisa sendirian, tapi terkait dengan program pemberdayaan masyarakat.
Organisasi filantropi harus lebih banyak berkiprah dalam upaya perubahan pola pikir donatur sehingga drama banjir dan karitas politis dapat diminimalisir.
No comments:
Post a Comment