Friday, December 18, 2009

Peleburan LAZ berarti Mematikan Gerakan Civil Society

Saat ini publik sedang meributkan (baca: mengkritisi) rencana pemerintah untuk melebur LAZ (Lembaga Amil Zakat) ke dalam BAZ (Badan Amil Zakat). Keduanya adalah lembaga yang membantu umat Islam menjalankan kewajiban zakat, dan merupakan lembaga kedermawanan sosial (filantropi) yang mengumpulkan dan mengelola zakat, sedekah, dan sumbangan lainnya untuk kemudian mendistribusikannya kepada yang membutuhkan. Perbedaan dasarnya, BAZ adalah lembaga pemerintah, sedangkan LAZ adalah non-pemerintah. Tulisan ini melihat dua hal, pertama upaya peleburan ini tidak realistis karena ideologi serta natur kedua lembaga itu berbeda, dan kedua, menghilangkan eksistensi LAZ berarti membunuh salah satu upaya gerakan civil society Islam.

Peleburan LAZ ke dalam BAZ tidak realistis. Landasan berdiri LAZ itu bottom-up dan sangat mengakar di masyarakat, sedangkan BAZ itu pendiriannya top-down dan sarat dengan birokrasi pemerintah. Secara umum managemen LAZ lebih terbuka, profesional dan akuntabel, dibandingkan BAZ yang mengikuti administrasi dan birokrasi pemerintah. Survey filantropi Islam di tahun 2003/4 yang dilakukan oleh Center for the Study of Religion and Culture membukakan mata terhadap fakta ini. Dan yang paling penting adalah tingkat kepercayaan publik terhadap LAZ sangat tinggi jika dibandingkan dengan BAZ. Kinerja BAZ dan pemerintah secara umum, misalnya dalam pengelolaan haji dan dana abadi umat, menjadi sorotan yang membuat kepercayaan publik terhadap BAZ rendah.

Jika tujuan pemerintah untuk peleburan ini untuk meningkatkan efektivitas, maka tujuan itu sulit akan tercapai. Studi-studi tentang penyatuan (merger) lembaga filantropi mensyaratkan adanya kesamaan ideologi, visi, landasan, dan lainnya untuk merger. Walaupun sudah ada banyak kesamaan, upaya ini membutuhkan banyak faktor untuk bisa berhasil. Sebuah percobaan saat ini dilakukan di Inggris untuk menggabungkan dua buah lembaga filantropi komunitas (community foundations) di Lanscashire dan Merseyside. Menurut Catherine E. Ellliot* dalam presentasinya pada Senior International Fellowship Program pada Center on Philanthropy and Civil Society, CUNY, New York pada 12 November 2009, yang juga dihadiri oleh penulis, merger ini ada kemungkinan berhasil karena keduanya memiliki banyak persamaan termasuk ideologi, visi, latar belakang, donatur, dan managemen.

Kasus merger antar sebuah BAZ dan LAZ di Indonesia sebenarnya sudah pernah diujicobakan, namun gagal. Dalam upaya membantu managemen operasional BAZNAS (Badan Amil Zakat Nasional), dilakukanlah merger dengan Dompet Dhuafa. Merger itu terjadi di tahun 2006 dan hanya bisa bertahan satu tahun. Dua contoh kasus ini memperlihatkan bahwa penyatuan bisa dilakukan jika memiliki landasan visi dan ideologi yang sama. Nah bagaimana mungkin penyatuan sebegitu banyak LAZ dan BAZ bisa berjalan sedangkan BAZ sendiri banyak yang belum berjalan sesuai harapan?

Problem utama peleburan di Indonesia adalah birokrasi. Kinerja LAZ yang awalnya sudah transparan, memiliki managemen administrasi yang baik, akan lebur dan hilang dibawah managemen BAZ yang ada dibawah birokrasi pemerintah. Jadi peleburan LAZ ke dalam BAZ bukan meningkatkan efesiensi dan managemen, tetapi hanya akan menghilangkan eksistensi LAZ.

Jika peleburan terjadi, ini merupakan kemunduran luar biasa dalam perkembangan filantropi di Indonesia. LAZ sudah membantu pemerintah dalam memberdayakan dan mensejahterakan masyarakat kurang mampu. Ia adalah gerakan civil society. Kinerja LAZ saat ini seharusnya patut diapresiasi dan didukung oleh pemerintah, bukan sebaliknya.

Pemerintah sebaiknya realistis dan mau mendengar suara-suara penolakan terhadap rencana penyatukan LAZ dengan BAZ. Penolakan itu datang tidak saja dari LAZ, tapi dari banyak elemen masyarakat, khususnya masyarakat yang mendapat manfaat dari LAZ, para donatur, para pemerhati dan akademisi, serta pendukung gerakan civil society. Niat pemerintah untuk melakukan penataan dan peningkatan zakat seharusnya dengan cara melakukan kerja serius dalam hal standarisasi dan supervisi atas kinerja lembaga-lembaga filantropi, baik BAZ dan LAZ. Cara penyatuan ini malah akan kontraproduktif dan memundurkan langkah umat Islam, dan filantropi di Indonesia.

Centralizing Zakat – the Wrong Solution

Amelia Fauzia

Amid the public uproar surrounding suspicions of corruption in the Bank Century payouts and bailout and doubts about the government’s performance in general, the Department of Religion is planning to centralize the management of zakat charitable donations. This is being done by a draft bill currently on on the table of Parliament which would replace existing law number 38 of 1999 on the Management of Zakat. It is very clear that centralisation would not help the zakat movement, and thus philanthropy and the people’s welfare, but would in fact wreck it by making it dependent on an already troubled government bureaucracy.

The Problems of Centralisation
The Department of Religion assumes that centralisation of zakat will put an end to management problems such as zakat distributions marred by chaos and even fatalities, and problems with the accountability of Muslim philanthropic institutions; they assume that centralization would even mobilize and maximise these institutions’ efficiency. Far from being an effective response to zakat problems, centralizing its collection raises a further problem, that of a giving an institution of dubious management capacity a monopoly over zakat management at the cost of losing the philanthropic institutions that already exist.

Research into philanthropy by the Center for the Study of Religion and Culture (CSRC) at UIN Syarif Hidayatulah showed that 98.50% of Muslims made zakat fitrah donations, and 34.70% made zakat mal contributions from their excess earnings. The total amount of Muslim philanthropic contributions in 2004 was estimated at Rp. 19.3 trillion. The major part of these contributions was given directly to those in need, to social organisations, and for education and religious purposes including mosques and pesantren. It is only in the last few years that the percentage of zakat channelled through Muslim philanthropic bodies has increased, thanks to the growing trust of the public in non-government Zakat Collection Bodies (LAZ) like Dompet Dhuafa. It is this extraordinary funding potential that is driving the push for centralisation.

The central idea of the draft bill is to give government owned Zakat Collection Agencies (BAZ) a management monopoly, from the highest central levels right down to the villages. This centralisation assumes the existence of BAZ as a professional and trusted institution. The problem is that the public is still very suspicious of the capacity of most BAZ agencies, especially when it comes to management, accountability and the effectiveness of zakat utilisation. Only 1,001 of the 5,649 BAZ agencies proposed to manage zakat since the 1999 Zakat law was passed were actually formed, and it is estimated that only 300 of these were active in 2007 (Fauzia, 2008:230). Bureaucratic problems presented enormous obstacles. And this was happening at the same time as people were losing faith in the performance of haj management and religious community endowment funds (Dana Abadi Ummat).

And if that is not enough, under the draft bill unless the existing non-government LAZ merge with the government owned BAZ, they will not be allowed to operate. The fact is that the LAZ generally far out-perform BAZ, which are heavily burdened with all the problems of government bureaucracy. To date the majority of LAZ have been professional and accountable in managing zakat contributions, and because of this they have earned the trust of the public. This is shown by the fact that the amount of zakat collected by BAZNAS (the National Zakat Collection Body) fell short of that collected by LAZ such as Dompet Dhuafa, PKPU, Rumah Zakat, and YDSF. The proposed monopoly will sacrifice and swallow these LAZ civil society movements which have helped the state care for otherwise stretched communities by providing (for example) education and disaster rescue services, and by strengthening the economy.

The intent of this centralisation to manage the religious contributions of the public seems absurd. It can only further burden a government that already struggles to handle its reponsibilities. As well as this, the idea of centralisation falls well outside national and global trends towards decentralized systems and strengthening civil society.

The Failure of Centralized Zakat under the New Order
The draft bill’s concept of centralisation in reminiscent of the government style of Soeharto’s New Order. Soeharto tried to centralize zakat management in 1968. This initiative was backed by a proposal from 11 ulamas in Jakarta, among them Professor Hamka and KH. Hasan (a senior religious figure) that the president should promote zakat collections. On October 26, in a speech for the occasion of Isra Miraj celebration (recalling the Prophet Muhammad’s miraculous flight to Jerusalem and ascension to heaven), Soeharto made an announcement about zakat collections and appointed himself as the collector. His proposal to collect zakat using post-office money orders was supported by a number of leaders, and assisted by one of whom was Major-General Alamsyah Ratuprawiranegara.

This effort lasted for only three years. Each year the amount collected and put to use was announced in speeches delivered on days of Islamic importance. The amount of the last national zakat collection, reported on the eve of Idul Fitri in 1970, was Rp. 39.5 million and $2,475. This fell far short of Soeharto’s prediction of Rp. 2.5 trillion each year, to be used for the development and welfare of the Muslim population (Fauzia, 2008;193). This episode should be an important lesson that the government has tried top-down centralization, and failed.

Standardization and Supervision
What is needed now is not centralization to boost the effective utilization of zakat, but lifting the capacity, standards and supervision of the existing philanthropic institutions. These institutions are the driving force behind Indonesia’s philanthropic movement, and deserve to be appreciated and supported. The function of BAZNAS needs to be changed so it can effectively standardize and supervise, but not compete with BAZ and LAZ organizations for collecting and managing philanthropic funds. Similarly the Department of Religion should do much more to build the capacity of Muslim philanthropic institutions, by putting regulations in order and through supervision. Rather than improving the lot of the people, centralizing zakat will deliver it into the hands of a bureaucratic system that remains rife with opportunities for corruption.

LAZ tak Boleh Salurkan Zakat (Berita)

Selasa, 15 Desember 2009 pukul 07:35:00
Oleh: Desy Susilawati

Tak mengizinkan LAZ mendistribusikan zakat, sama saja mengamputasi LAZ.

JAKARTA -- Departemen Agama (Depag) membantah akan adanya sentralisasi pengelolaan zakat dan menghapuskan lembaga amil zakat (LAZ). Direktur Pemberdayaan Zakat Depag, Nasrun Harun, mengatakan tak ada usulan seperti itu dalam revisi Undang-Undang No 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat.

Menurut Nasrun, zakat solusi bagi kemiskinan dan pemerintah sama sekali tak berniat melakukan sentralisasi pengelolaan zakat dan menghapuskan LAZ. ''Tak ada kata-kata itu dalam revisi,'' katanya dalam seminar Haruskah LAZ Dibubarkan?, di kampus Universitas Trisakti, Jakarta, Senin (14/12).

Namun, Nasrun menyatakan nantinya LAZ hanya akan berubah fungsi menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ). Mereka tak lagi boleh menyalurkan zakat dan badan amil zakat (BAZ) yang boleh menyalurkan zakat. Ia berharap revisi ini bisa disetujui oleh DPR sehingga nantinya mampu mengurangi angka kemiskinan yang saat ini jumlahnya 37 juta jiwa.

Direktur Islamic Economics and Finance (IEF), Universitas Trisakti, Sofyan Syafii Harahap, mengatakan, pemerintah harusnya keluar dari masalah yang diurus masyarakat. Walaupun Depag tak ikut mengurus zakat, mereka akan membuat Baznas. Diyakini, dengan adanya badan ini, fungsi LAZ akan berkurang.

''Depag mengatakan LAZ tidak dibubarkan, tapi tidak dibenarkan untuk mendistribusikan, ini namanya mengamputasi LAZ,'' kata Sofyan. Ia menambahkan, pemerintah tetap dibutuhkan, namun harus mengukur dirinya sendiri. Pemerintah cukup sebagai regulator dan pengawas. Dengan demikian, pemerintah tak perlu melakukan eksekusi.

Sofyan mencontohkan, jika ada LAZ yang sudah berhasil, disitulah fungsi pemerintah untuk melakukan pengawasan dan mengamati sejauhmana regulasi dilaksanakan LAZ. Dalam konteks ini, Baznas bisa melakukan kerja sama dengan LAZ secara simbiotis mutualisme bukannya saling memakan.

Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, Amelia Fauzia, mengatakan, LAZ memang tak dibubarkan, tapi dilebur menjadi UPZ. Saat ini, jelas dia, kinerja LAZ justru lebih baik dibandingkan BAZ. ''Jika dilebur, sama saja dihilangkan. Ini merupakan kemunduran luar biasa bagi masyarakat Indonesia,'' katanya.

Menurut Amelia, LAZ ini sudah lama ada dan menjadi gerakan masyarakat madani. BAZ dan LAZ merupakan aset yang sangat penting. Ia mengatakan, jika revisi diarahkan untuk memobilisasi zakat, problematikanya bukan pada LAZ. Dalam hal ini, mestinya ada edukasi kepada masyarakat untuk membayar zakat pada lembaga pengelola zakat yang ada.

Amelia menambahkan, upaya sentralisasi zakat tak bisa dilakukan di Indonesia. Ia mencontohkan gagalnya sentralisasi zakat pada masa Orde Baru. Masyarakat, kata dia, tak siap dengan adanya sentralisasi. ''Masyarakat akan mempertanyakan lembaga apa yang nantinya bisa menyalurkan zakat,'' ujarnya.

Sementara itu, Presiden Direktur Dompet Dhuafa Republika (DDR), Ismail A Said, menyatakan, tak setuju dengan usulan Depag yang akan mengubah fungsi LAZ menjadi UPZ. Meski usulan Depag belum tentu disetujui, ia berharap LAZ tidak ditutup. ''Biarkan saja, LAZ dan BAZ tetap menjalankan. Baznas yang mengawasi,'' kata Ismail.

Ismail mengungkapkan, zakat yang masuk ke DDR setiap tahunnya mencapai Rp 100 miliar. Menurut dia, ini bisa terwujud karena adanya kepercayaan masyarakat terhadap distribusi yang dilakukan oleh DDR atas zakat yang terkumpul itu. Oleh karena itu, ia tak bisa menerima jika LAZ hanya menjadi UPZ.

Hal senada ditegaskan pula Wakil Direktur Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah, Yusuf Wibisono. Ia mengatakan, kinerja zakat justru meningkat jika dikelola oleh masyarakat. Organisasi nirlaba yang transparan dan akuntabel lebih disukai dan menumbuhkan kepercayaan muzakki. ''Di sini, kepercayaan menjadi kata kuncinya,'' katanya. ed:ferry

Depag: LAZ tidak Dibubarkan (Berita)

By Republika Newsroom http://republika.co.id/berita/95860/Depag_LAZ_tidak_Dibubarkan
Senin, 14 Desember 2009 pukul 16:09:00

JAKARTA--Revisi Undang-undang no. 38 tahun 1999 tentang pengelolaan zakat kini sudah ada di Departemen Hukum dan HAM (Dephukham). Bahkan sudah masuk dalam proglegnas 2010 urutan ketujuh. Namun, masih terus menjadi kontroversi mengenai isi revisi UU tersebut.

Dalam salah satu poin revisinya, Departemen Agama (Depag) mengusulkan agar zakat dikelola oleh Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan ini tentu saja akan menjadi ancaman bagi sejumlah Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang ada saat ini di Indonesia. Saat ini tercatat ada Badan Amil Zakat Nasional (Baznas), 18 LAZ Nasional, 33 BAZ provinsi, 429 BAZ Kabupaten/Kota, LAZ daerah dan 4.771 BAZ Kecamatan.

Direktur Pemberdayaan Zakat, Depag, Prof Nasrun Harun, mengatakan, dalam Revisi UU No.38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat menegaskan pemerintah tidak akan membubarkan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang ada saat. Nantinya LAZ tersebut hanya akan berubah fungsi menjadi Unit Pengumpul Zakat (UPZ).

"Siapa yang membubarkan LAZ, tidak ada yang mau membubarkan LAZ. Dalam reisi UU tidak ada kata-kata hapuskan LAZ," ujar Prof Nasrun saat Seminar Interaktif bertema Haruskah LAZ Dibubarkan di Auditorium Gedung S, Kampus A, Universitas Trisakti, Jakarta, Senin (14/12).

LAZ, imbuh Nasrun, bukan dihapuskan. Namun hanya berubah fungsi menjadi UPZ. Mereka tak lagi boleh menyalurkan zakat. Mereka hanya bertugas mengumpulkan zakat. "Badan Amil Zakat (BAZ) lah yang boleh menyalurkan zakat," katanya.

Nasrun berharap revisi UU tersebut bisa disetujui oleh DPR. Dengan disetujuinya hal tersebut, menurut Nasrun akan mampu mengurangi angka kemiskinan yang ada saat ini berjumlah 37 juta jiwa. "Kenyataannya saat ini makin hari makin banyak orang miskin. Itu salah kita yang tidak berbuat banyak untuk mereka. Untuk itu perlu adanya revisi UU tersebut," katanya.

Jika UU tersebut jadi direvisi, maka akan ada beberapa hal pokok lainnya yang akan berubah. Salah satunya untuk menggali potensi zakat yang ada di negara kita ini.

Potensi zakat di negara kita ini menurut penelitian dari UIN Syarif Hidayatullah (UIN) tahun 2004 adalah sebesar Rp 19,3 triliun. Namun, laporan yang diterima oleh Depag hanya sekitar Rp 900 miliar. "Padahal kita punya Baznas, Baz Kabupaten Kota, sudah ada pula UU, dan keputusan menteri agamnya. Tapi potensi sangat sangat kecil diperoleh. Dimana letak kesalahannya?," katanya.

Menurut Nasrun, kesalahannya terletak pada UU No.38 tahun 1999 yang lahirnya prematur. Prematurnya uu tersebut, misalnya ada pasal yang mengatakan masyarakat boleh dan tidak berzakat. Ini akibat kurangnya PP yang menguatkan undang-undang tersebut. "Kelemahan paling besar yang tadinya wajib dalam hukum Islam, dalam UU boleh atau tidak. Kewajiban tidak ada," katanya.

Sementara itu, Direktur Pusat Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah, Amelia Fauzia, mengatakan LAZ memang tidak dibubarkan tapi dilebur jadi UPZ. "LAZ dan BAZ tidak bisa dilebur jadi satu. Mereka beda visi dan idiologi seperti halnya Dompet Dhuafa dengan BAZNAS. Sudah duji coba kalau untuk meleburkan harus punya basis sama," katanya.

Amelia mengatakan, sekarang ini kinerja LAZ justru lebih baik dari BAZ. "Jika dilebur sama saja dihilangkan. Ini merupakan kemunduran luar biasa dimasyarakat di Indonesia. Jika menghilangkan LAZ berarti menghancurkan civil society," ujarnya.

Amelia menambahkan, LAZ ini sudah lama dan ajdi gerakan civil society di Indonesia. BAZ dan LAZ yang ada merupakan aset yang sangat penting, kalau yang ditargetkan untuk efisiensi maka regulasi dan efisiensi itu openting. "Niat baik pemerintah itu bisa lebih realistis melihat perkembangan zakat," katanya.

Jika RUU diarahkan untuk mobilisasi zakat. Problmetika bukan pada LAZ, mungkin muzakki ada yang langsung memberikan kepada mustahik. "Harus ada edukasi kepada masyarakat, berikan zakat kepada lembaga yang sudah terkareditas pemerintah, saya kira tanpa maksa-maksa masyarakat juga akan bayar zakat," katanya.

Hal senada dituturkan oleh Direktur Islamic Economics and Finance (IEF), Universitas Trisakti, Prof Sofyan Syafii Harahap mengatakan pemerintah harusnya keluar dari masalah-masalah yang diurus oleh masyarakat. Walaupun Depag tidak ikut mengurus zakat, tapi mereka kan membuat baznas. "Depag mengatakan LAZ tidak dibubarkan, tapi LAZ tidak dibenarkan untuk mendistribusikan, nah itu namanya mengamputasi LAZ," katanya.

Rekomendasi saya, kata Prof Sofyan, pemrintah tetap dibutuhkan tapi pemerintah harus mengukur dirinya sendiri, pemerintah cukup regulator dan pengawas. Jadi tidak perlu melakukan eksekusi. "Misalnya LAZ yang sudah berhasil, disitulah fungsi pemerintah untuk melakukan pengawasan terhadap LAZ. Sejauh mana regulasi dilaksankan oleh LAZ. BAZNAS bisa kerjasama dnegan LAZ dengan simbiotik mutualisme bukan saling memakan.

"Rakyat sebagai motor penggerak dari lembaga-lembaga ini. Jika rakyat tidak punya trust maka lembaga tersebut tidak bisa stay. Nah inilah yang harus diterapkan," katanya.

Rekomendasi berikutnya, kata Sofyan, peran pemerintah sudah mampu dan berhasil, BAZNAS harus jadi regulator, pengawas umum dan syariah, koordinasi, forum diskuki, fasilitator, jembatan negara, untuk jembatani civil sicoety dan state. "Jangan jadi alat komersalisasi. Berhentilah pemerintah untuk sok tahu mengurus civil society," ujarnya.

Intelektual Islam, Azyumardi Azra, juga menetang jika LAZ-LAZ dibubarkan. Menurutnya jika lembaga tersebut dibubarkan, maka orang yang terkena gempa dan musibah sudah meninggal duluan. "Mengurus haji dan madarasah saja tidak beres, pemerintah tidak reaktif dalam musibah, maka yang kena musibah akan meninggal duluan. Kalau ada upaya tersebut harusnya ditolak.she

Presiden Direktur Dompet Dhuafa Republika, Ismail A. Said mengaku tidak menyetujui usulan dari Depag yang akan merubah fungsi LAZ menjadi UPZ. Walaupun pemerintah belum tentu setuju dengan usulan depag, tapi dirinya berharap agar LAZ, tidak ditutup. "Biarkan saja. LAZ dan BAZ tetap menjalankan. Baznas yang mengawasi," katanya.

Menurutnya, zakat yang masuk dalam dompet dhuafa Republika setiap tahun mencapai Rp 100 miliar. Ini karena kepercayaan masayarakat terhadap distribusi yang dilakukan oleh dompet dhuafa Republika. she/kpo